Tulisan ini sudah diterbitkan di harian waspada, pada halaman ekonomi dan bisnis tanggal 20 oktober 2008
Saat mengantar istri berbelanja ke pasar tradisional di Kampung Lalang. kami melihat pasar yang kami tuju sepi dan lengang. Kami mendapati Jalan Binjai simpang kampung lalang yang besar itu berubah menjadi pasar tumpah. Sepagi itu sudah ratusan orang berjelal berjual beli kebutuhan bahan makanan sehari-hari. Mulai dari pedagang sayur, daging, ikan, bumbu dapur, sampai nasi campur. Begitu banyaknya, hingga jalan besar itu hanya tersisa sedikit untuk mobil berlalu.
Posisi lapak pedagang sudah jauh dari pasar aslinya, mencaplok jalanan. Niat untuk mendapatkan tempat strategis dan memudahkan jangkauan pembeli menjadi perlombaan keserakahan. Persis seperti krisis morgate di Amerika Serikat. Cukup kurang cukup. Maju kurang maju.
Posisi lapak pedagang sudah jauh dari pasar aslinya, mencaplok jalanan. Niat untuk mendapatkan tempat strategis dan memudahkan jangkauan pembeli menjadi perlombaan keserakahan. Persis seperti krisis morgate di Amerika Serikat. Cukup kurang cukup. Maju kurang maju.
Saya coba potret para pedagang yang sibuk melayani pembeli dengan mulut tetap memanggil calon pembeli yang berjalan melintasinya. Sebuah drama yang lucu, seperti seseorang yang mulutnya penuh sedang lahap mengunyah makanan sementara tangan kanan mempersiapkan suapan berikutnya dan tangan kiri mengambil makanan lain plus mata melotot mencari makanan lain dengan perasaan curiga dan khawatir jangan sampai makanan enak itu diambil orang lain.
Salah satu pedagang itu memiliki wajah yang serba mau. Perutnya buncit terbungkus baju kaus tanpa leher ukuran besar. Nampak benar ia tidak memperdulikan apapun selain pembeli yang banyak dan penjualannya segera laris terjual habis. Tak perduli sampah bertebaran dibawah lapaknya yang sebenarnya adalah jalan aspal untuk para pengendara. Tak perduli bus dan sepeda motor yang lewat terpaksa antri pelan-pelan karena jalannya dirampas.
Salah satu pedagang itu memiliki wajah yang serba mau. Perutnya buncit terbungkus baju kaus tanpa leher ukuran besar. Nampak benar ia tidak memperdulikan apapun selain pembeli yang banyak dan penjualannya segera laris terjual habis. Tak perduli sampah bertebaran dibawah lapaknya yang sebenarnya adalah jalan aspal untuk para pengendara. Tak perduli bus dan sepeda motor yang lewat terpaksa antri pelan-pelan karena jalannya dirampas.
Drama kesibukan pencari uang itu jelas saya rekam satu persatu, hingga pandangan saya terpojok kepada seorang bapak setengah baya yang berjualan ubi-ubian diemperan toko. Posisi lapaknya jelas tertutupi oleh 6 baris pedagang lain yang menjorok ketengah jalan umum. Lapaknya tidak seramai lapak si gendut yang membuka lapaknya disisi paling luar (pas ditengah jalanan).
Bisnis = Puasa
Dengan sedikit menyelidik saya bertanya, mengapa Bapak tidak ikut ramai-ramai ke tengah jalan? santun ia menjawab, “Disini juga bagus Pak”. Saya terus menggali pikiran dan keputusannya memilih tempat itu. Apakah karena ia malas ramai-ramai? Apakah ia kalah bersaing mendapatkan lokasi strategis? Atau karena hal lain?
“Pak, rejeki itu milik semua orang dan sudah ada aturannya”, katanya, “Dimanapun ada rejeki” terangnya sambil memberikan uang kembalian kepada pembeli yang dilayaninya. “Pak, dagang itu seperti Puasa, Cuma kita dan Tuhan yang tahu”. Sejenak saya mencoba memikirkan kalimat itu. Lalu ia menjelaskan bahwa memang hanya si pedagang dan Tuhan yang tahu, apakah timbangannya jujur, apakah barang yang dijual benar-benar bagus seperti yang dijanjikannya, apakah harga yang diberikan adalah harga yang wajar dan apakah ada kecurangan-kecurangan dalam prosesnya. Ya hanya si Pedagang dan Tuhan saja yang tahu.
Katanya, “Menipu pembeli bisa memberikan untung besar, tapi itu tidak berkah, kita bisa ketiban sial yang teramat sial”. Sebuah etika bisnis yang langka.. Penjual ubi sebenarnya bisa saja mendapatkan lokasi yang strategis, tapi ia harus menyogok penguasa (resmi dan tidak resmi), bahkan ia bisa sekali mematikan pesaing dengan ‘mengatur’ penguasa tersebut agar mempersulit bisnisnya.
“Saya mencari berkah Tuhan, Pak”, aku Penjual Ubi. “Memang, kami ini seperti resmi Pak, kami bayar retribusi, kami bayar kebersihan, tapi menyulitkan orang lain akan berakibat suatu saat urusan kita pun akan mengalami kesulitan”.
“Saya tidak mau atas nama kemiskinan lalu saya menyulitkan pengguna jalan, saya tidak ingin jalan hidup saya juga dipersulit oleh orang lain”. Kalimat itu mengingatkan saya kepada kawan-kawan pelaku UKM yang suka menghalalkan segala cara demi mendapatkan bisnis walaupun harus ‘menyulitkan’ orang lain. Dengan dalih meringankan beban pemerintah, mengurangi pengangguran dan alasan lain. “Ini kan halal, bukan mencuri atau korupsi” begitu kira-kira alasan pembenaran kawan-kawan kita itu.
Etika
Etika bisnis kita masih diwarnai oleh budaya bangsa kita pada umumnya. Perasan serakah dan takut tidak kebagian adalah momok yang paling besar mewarnai sikap kita. Lihat saja kasus meninggalnya penerima Zakat di Jawa Timur, lihat saja bagaimana orang-orang berdesakan mencairkan BLT. Lihatlah betapa kita tidak bisa sabar, disiplin dan saling menghormati.
Antri itu berbaris kebelakang, bukan berjajar kesamping. Kalau sesekali saya ke negara tetangga, saya langsung tahu kalau orang-orang yang berdiri di depan lift itu orang kita. Mereka tidak antri tapi berjubel langsung menutup pintu, memaksa masuk sementara orang-orang yang dari dalam lift pun jadi kesulitan mau keluar. Lihatlah, bagaimana kita mau masuk, kalau kita tidak memberikan jalan untuk keluar bagi mereka yang di dalam?
Bisnis = Puasa
Dengan sedikit menyelidik saya bertanya, mengapa Bapak tidak ikut ramai-ramai ke tengah jalan? santun ia menjawab, “Disini juga bagus Pak”. Saya terus menggali pikiran dan keputusannya memilih tempat itu. Apakah karena ia malas ramai-ramai? Apakah ia kalah bersaing mendapatkan lokasi strategis? Atau karena hal lain?
“Pak, rejeki itu milik semua orang dan sudah ada aturannya”, katanya, “Dimanapun ada rejeki” terangnya sambil memberikan uang kembalian kepada pembeli yang dilayaninya. “Pak, dagang itu seperti Puasa, Cuma kita dan Tuhan yang tahu”. Sejenak saya mencoba memikirkan kalimat itu. Lalu ia menjelaskan bahwa memang hanya si pedagang dan Tuhan yang tahu, apakah timbangannya jujur, apakah barang yang dijual benar-benar bagus seperti yang dijanjikannya, apakah harga yang diberikan adalah harga yang wajar dan apakah ada kecurangan-kecurangan dalam prosesnya. Ya hanya si Pedagang dan Tuhan saja yang tahu.
Katanya, “Menipu pembeli bisa memberikan untung besar, tapi itu tidak berkah, kita bisa ketiban sial yang teramat sial”. Sebuah etika bisnis yang langka.. Penjual ubi sebenarnya bisa saja mendapatkan lokasi yang strategis, tapi ia harus menyogok penguasa (resmi dan tidak resmi), bahkan ia bisa sekali mematikan pesaing dengan ‘mengatur’ penguasa tersebut agar mempersulit bisnisnya.
“Saya mencari berkah Tuhan, Pak”, aku Penjual Ubi. “Memang, kami ini seperti resmi Pak, kami bayar retribusi, kami bayar kebersihan, tapi menyulitkan orang lain akan berakibat suatu saat urusan kita pun akan mengalami kesulitan”.
“Saya tidak mau atas nama kemiskinan lalu saya menyulitkan pengguna jalan, saya tidak ingin jalan hidup saya juga dipersulit oleh orang lain”. Kalimat itu mengingatkan saya kepada kawan-kawan pelaku UKM yang suka menghalalkan segala cara demi mendapatkan bisnis walaupun harus ‘menyulitkan’ orang lain. Dengan dalih meringankan beban pemerintah, mengurangi pengangguran dan alasan lain. “Ini kan halal, bukan mencuri atau korupsi” begitu kira-kira alasan pembenaran kawan-kawan kita itu.
Etika
Etika bisnis kita masih diwarnai oleh budaya bangsa kita pada umumnya. Perasan serakah dan takut tidak kebagian adalah momok yang paling besar mewarnai sikap kita. Lihat saja kasus meninggalnya penerima Zakat di Jawa Timur, lihat saja bagaimana orang-orang berdesakan mencairkan BLT. Lihatlah betapa kita tidak bisa sabar, disiplin dan saling menghormati.
Antri itu berbaris kebelakang, bukan berjajar kesamping. Kalau sesekali saya ke negara tetangga, saya langsung tahu kalau orang-orang yang berdiri di depan lift itu orang kita. Mereka tidak antri tapi berjubel langsung menutup pintu, memaksa masuk sementara orang-orang yang dari dalam lift pun jadi kesulitan mau keluar. Lihatlah, bagaimana kita mau masuk, kalau kita tidak memberikan jalan untuk keluar bagi mereka yang di dalam?
Jalanan di Kota Medan penuh dengan suara klakson, semuanya mau cepat, di detik yang sama lampu hijau menyala, langsung dari belakang terdengar suara klakson yang tak sabar menunggu antrian. Yang tidak cocok dari sikap itu adalah selalu buru-buru dijalan tetapi tetap terlambat.
Memang kadang, perkara perut sering melupakan etika. Teapi Kalau pedagang di pasar benar-benar patuh dan percaya bahwa rejeki pasti didapat, niscaya kemacetan karena pasar tumpah tidak akan terjadi. Kalau sopir angkot tidak ketakutan atas kemiskinan (karena rejeki sudah diatur Tuhan), maka mereka tidak akan ugal-ugalan mengejar setoran dengan membuat kemacetan di jalan. Kalau pengusaha tidak khawatir akan berkah Tuhan, maka mereka akan menciptakan produk bermutu dan tidak membahayakan konsumennya.
Mengakhiri obrolan saya dengan penjual Ubi, saya bertanya jam berapa saat itu. Saya lupa jam yang ia sebutkan, karena saya terheran melihat sebuah jam produk jepang yang harganya jutaan rupian. Jam itu bisa menginformasikan arah mata angin, ketinggian lokasi, suhu udara, dan banyak lagi fiturnya. Sambil senyum si penjual ubi memahami sorot mata saya, lalu berkata,”Biar tahu arah Kiblat Pak”.
Memang kadang, perkara perut sering melupakan etika. Teapi Kalau pedagang di pasar benar-benar patuh dan percaya bahwa rejeki pasti didapat, niscaya kemacetan karena pasar tumpah tidak akan terjadi. Kalau sopir angkot tidak ketakutan atas kemiskinan (karena rejeki sudah diatur Tuhan), maka mereka tidak akan ugal-ugalan mengejar setoran dengan membuat kemacetan di jalan. Kalau pengusaha tidak khawatir akan berkah Tuhan, maka mereka akan menciptakan produk bermutu dan tidak membahayakan konsumennya.
Mengakhiri obrolan saya dengan penjual Ubi, saya bertanya jam berapa saat itu. Saya lupa jam yang ia sebutkan, karena saya terheran melihat sebuah jam produk jepang yang harganya jutaan rupian. Jam itu bisa menginformasikan arah mata angin, ketinggian lokasi, suhu udara, dan banyak lagi fiturnya. Sambil senyum si penjual ubi memahami sorot mata saya, lalu berkata,”Biar tahu arah Kiblat Pak”.
Dikutip dari:
http://www.cahyopramono.com/2008/10/belajar-etika-bisnis-di-pasar-tumpah.html