Malam Sabtu kemarin saya dan istri keluar bakda maghrib. Ke salah satu mall terbesar di Surabaya hendak mencari HP yang diiklankan di koran. “Pih, ini HP murah. HP papi kan katanya sinyalnya jelek.” Akhirnya pun saya menuruti istri. “Perempuan memang suka tergoda iklan,” batin saya. Selepas maghriban kami pun meluncur dengan Astrea hitam 90-an. Tadinya istri minta pakai mobil saja, tapi mobil kami sedang rewel karena radiatornya bocor.
Di tengah perjalanan istri saya mengingatkan untuk mengisi bensin motor. Maklum jarum bensin motor sudah tak berfungsi lagi. Jadi untuk tahu bensin masih ada apa tidak, hanya kira-kira saja. Pakai insting. Kapan isi, berapa liter, kita-kira ngisi lagi kapan. Untuk soal ini kadang saya mleset. Sering nuntun gara-gara kelupaan ngisi. “Pih, diisi bensin dulu,” suruh istri saya. “Lha wong tadi siang baru tak isi sak liter botolan kok. Insya Allah masih bisa,” saya ngeyel. Padahal saat itu persis melewati pom bensin. “Diisi dulu aja, daripada nanti nuntun.” “Nggak ah, masih nyampe.” Saya memang agak nyeyel. Akhirnya debat itu saya menangkan. Nggak jadi isi bensin. Lha iya wong pom bensinnya juga sudah kelewatan kok.
Sesampai di mall, kami langsung ke ajang pameran HP yang diiklankan itu. Wah…ramai banget. Kelihatan gaya hidup modern-nya. Anak-anak muda dengan aksesori perlambang kemodisan dan kemodernan: baju modis, HP mutakhir, dan lainnya. Pokoknya, mall memang sepetak cermin kemodernan di tengah hingar bingar kota yang menyisakan banyak problema, termasuk ketimpangan sosial. Tidak lama saya di situ, karena ternyata iklan tak sama dengan kenyataan. Busyet, iklan memang merangsang sekaligus membutakan. Saya pun bilang sama istri, “Dasar iklan, yang diiklankan selalu tak seperti kenyataan.”
Karena kecewa di mall itu, kami akhirnya memutuskan ke mall pusat HP di Surabaya selatan. Di sana pun akhirnya tak menemukan HP yang cocok. Saya pun bilang ke istri, “Ngapain sih beli HP baru, wong yang lama masih bisa dipakai?” Karena tak mendapatkan apa-apa, kami memutuskan pulang. Lagian juga hari sudah malam.
Sesampai di mall, kami langsung ke ajang pameran HP yang diiklankan itu. Wah…ramai banget. Kelihatan gaya hidup modern-nya. Anak-anak muda dengan aksesori perlambang kemodisan dan kemodernan: baju modis, HP mutakhir, dan lainnya. Pokoknya, mall memang sepetak cermin kemodernan di tengah hingar bingar kota yang menyisakan banyak problema, termasuk ketimpangan sosial. Tidak lama saya di situ, karena ternyata iklan tak sama dengan kenyataan. Busyet, iklan memang merangsang sekaligus membutakan. Saya pun bilang sama istri, “Dasar iklan, yang diiklankan selalu tak seperti kenyataan.”
Karena kecewa di mall itu, kami akhirnya memutuskan ke mall pusat HP di Surabaya selatan. Di sana pun akhirnya tak menemukan HP yang cocok. Saya pun bilang ke istri, “Ngapain sih beli HP baru, wong yang lama masih bisa dipakai?” Karena tak mendapatkan apa-apa, kami memutuskan pulang. Lagian juga hari sudah malam.
Di tengah perjalanan pulang, istri saya pengin makan burung dara. “Oke, kita cari warung ya.” Kami pun menyusuri jalan mencari warung yang jualan burung dara. Tiba-tiba, gas motor terasa beda. Agak tersendat-sendat. “Wah, alamat buruk nih…,” batin saya. Benar saja….grek…grek…..grek…. Motor tak mau jalan. Gas tak bisa lagi. “Pasti bensinnya habis nih, Pih. Tadi sudah tak bilangin, ngeyel.” Istri saya terus saja menceramahi saya karena saya nggak mau ngisi bensin tadi. Khas ceramah istri yang kecewa. “Iya, iya, papai minta maaf.” “Pokoknya papi janji nggak ngeyel lagi,” ancamnya. Wah, kalo dah gini, saya nggak akan mendebatnya.
Kami minggir. Saya pun menuntun motor. Saya dah beberapa kali nuntun motor seperti ini. Ya ngak kapok-kapok juga. Jalan sepi penjual. Nggak ada penjual di pinggir jalan. Penjual bensin botolan juga nggak ada. Motor terus saya tuntun di tengah deru kendaraan dan reman-remang jalan. Saya juga kasihan dengan istri. Dia jalan di belakang. Wajahnya kecewa karena harus jalan kaki gara-gara kengeyelan saya. Saya juga menyesal kenapa ngeyel ngak mau isi bensin. Ternyata ngeyel tak selamanya menguntungkan.
Sudah beberapa ratus meter saya nuntun motor. Nggak juga ada penjual bensin botolan. Dan saya tahu, di sepanjang jalan itu nggak ada pom bensin. Kalo mau sampai pom bensin, kami harus jalan paling tidak 3 kiloan. Wah…kebayang capeknya. Badan saya pun mulai panas dan berkeringat. Saya lihat istri, masih sama. Kami hanya pasrah. Terbayang betapa jauhnya untuk mencapai pom bensin. Ada satu penjual ban bekas, kami berharap jualan bensin botolan. Setelah kami tanya, “Nggak jualan bensin, Mas.” Wah, lemes.
Dalam kepasrahan itu, tiba-tiba ada yang tanya istri saya, “Kenapa, Mbak?” Seorang kakek tua dengan motor tuanya menghenyakkan bayangan di kepala saya. “Bensinnya habis, Pak,” jawab istri saya. Kami berdua nggak tahu apa yang akan dilakukan si kakek tua ini. Kami nggak peduli mulanya. Tapi si kakek lantas minggir dan berhenti persis di depan motor yang saya tuntun. Lalu sebuah kantong plastik diambilnya dari cantelan motor butut Suzuki 70-an itu. Saya benar-benar nggak tahu apa yang akan dilakukannya.
Saya dan istri masih bertanya-tanya, mau apa si kakek ini dengan kami? Kakek usia 70-an ini mendekati saya, lalu mengatakan, “Mas, ini saya bawa bensin.” What??? Saya kaget dan bertanya-tanya dalam hati. Kok bisa si kakek ini bawa bensin. Dia pun mengeluarkan botol oli. “Kok botol oli, Pak?” tanya saya keheranan. “Ini botol oli tapi isi bensin, Mas. Saya kemana-mana bawa bensin. Ya untuk nolong orang kalo ada yang kesusahan kayak Mas ini.” Deg….nyesss….. Langsung otak saya yang tadinya panas langsung dingin dan kaku. Keheranan. Orang macam apa ini? Di kota besar seperti Surabaya masih ada orang “super baik” macam ini? Saya bener-bener nggak percaya apa yang sedang saya lihat.
Saya pun lantas membuka jok motor. Ketika hendak menuangkan bensin itu, sang kakek berkata, “Oh ya, saya juga bawa corong, Mas.” Ya Allah, si kakek ini bawa corong juga? Untuk membantu orang yang kehabisan bensin di jalan!!! Kakek “dari surga” ini pun menuangkan bensin secukupnya ke motor saya. “Mas, ini sudah cukup untuk sampai ke pom bensin.” “Terima kasih, Pak,” jawab saya benar-benar ikhlas. Entah berterima kasih macam apa dengan kakek ini. Saya pun langsung mengambil dompet. “Nggak usah Mas. bener-bener nggak usah,” tolak kakek dengan isyarat tangannya. Saya pun memaksanya gar menerima uang yang tak seberapa dibanding bantuannya itu. Tapi si kakek ini pun tak mau jua.
Selama perjalanan pulang saya dan istri tidak henti-hentinya bicara keheranan dengan kebaikan si kakek ini. Saya juga heran kenapa tidak bertanya nama dan alamat rumahnya. Saya hanya bergumam dalam hati, “Semoga kita kelak bertemu di surga ya, Kek.” Air mata saya mau menetes, tapi saya tahan. Terbersit saya ingin menirunya. Jantung ini berdegup kencang ingat kakek tadi. Dia bukan siapa-siapa. Dari penampilannya jelas orang miskin. Dari usianya jelas sudah bau tanah. Sama sekali tak ada yang dibanggakan dari ukuran materi. Tapi itu semua bagi saya tidak ada artinya. Bagi saya, dia kaya! Dia tua usia, tapi panjang amalnya! Dia kaya daripada para koruptor dan orang kaya yang menindas orang macam kakek ini! Dia layak mendapat surga daripada orang kaya yang menyumbang dan diiklankan di media massa!
Coba bayangkan, dia sengaja membawa bensin dan corong kemana-mana hanya ingin menolong siapapun yang kehabisan bensin di jalan. Tanpa pamrih. Tanpa minta balasan. Tidak ada tendensi politik, ekonomi, popularitas, apalagi kekuasaan. Adakah yang naik Mercy atau BMW menolong orang yang menuntun motor kehabisan bensin di jalan malam-malam? Tidak ada! Tapi si kakek uzur dengan motor bututnya yang menolongnya. Ketika hendak tidur, ingin rasanya saya bermimpi berjumpa dengannya di surga. Terima kasih ya, Kek. Semoga kita berjumpa di surga. Amin.
Sumber:
http://ratmanboomen.blogspot.com/2009/12/bensin-kakek-dari-surga-kisah-nyata.html
Ditulis oleh: 07 Desember 2009(sesuai dengan info di Blog-nya)